Jakarta, Tambangnews.com.- Anggota Komisi XI DPR RI Kemal Azis Stamboel menilai Kementerian Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara (BUN) perlu terlibat aktif dalam proses renegosiasi kontrak pertambangan.
“Menkeu sebagai Bendahara Umum Negara yang bertangungjawab atas manajemen neraca keuangan negara, tentunya perlu terlibat. Setiap eksploitasi atas sumber daya alam sebagai aset nasional harus dipastikan tidak menimbulkan kerugian dalam jangka panjang. Dalam pertambangan ada aset yang di ambil, dan ada deplesi serta dampak lingkungan hidup yang ditinggalkan. Apakah kemudian aset dari SDA yang diambil itu juga baik dan menguntungkan Negara?, maka Menkeu sebagai Bendahara Negara, menurut saya harus ikut serta menimbangnya," paparnya.
Sebagaimana diketahui, pemerintah telah merencanakan untuk melakukan renegosiasi atas isi 118 Kontrak Karya pertambangan nasional. Terdiri dari 76 perjanjian karya pengusahaan penambangan batu bara (PKP2B) dan 42 kontrak karya industri mineral. Selain itu terdapat sekitar 8.000 izin usaha pertambangan (IUP) atau kuasa pertambangan (KP) yang sebenarnya juga perlu dikaji ulang.
Menurut Menkeu, selama ini Kementerian Keuangan tidak pernah dilibatkan dalam proses pemberian izin PKP2B maupun penandatangan kontrak karya pertambangan lainnya. “Saya kira Menkeu memang perlu terlibat dalam proses ini. Karena didalam kontrak terdapat unsur penerimaan negara, seperti kewajiban pajak, bea masuk, dan royalti, yang perlu dipertimbangan. Kita telah sering mendengar bahwa sektor pertambangan masih under tax, sistem perhitungan dan pendataan produksi masih kurang bagus. Sehingga dengan keterlibatan Menkeu dalam renegosiasi, diharapkan negara dan rakyat Indonesia tidak dirugikan karena menguapnya potensi pendapatan negara dari sektor tersebut. Semakin baik penerimaan atas hak Negara dari sektor ini diharapkan kemudian dapat didistribusikan untuk kesejahteraan rakyat” paparnya.
Menurut Kemal, pendapatan negara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor Pertambangan Umum sangat-sangat rendah, terutama jika dibandingkan dengan PNBP Migas. “Tahun 2010 saja kita mencatat PNBP sektor pertambangan hanya 9,7 triliun rupiah sedangkan PNBP sektor Migas 151,7 triliun rupiah. Hal ini terjadi karena besaran royalti yang kita terima sangat rendah. Royalti untuk tambang emas, tembaga dan perak sangat kecil. Ada perusahaan besar hanya membayar royalti 0,28% dan 1%. Fakta ini menunjukkan ada yang salah dengan sistem kontrak karya pertambangan kita. Dan ini harus segera diperbaiki kedepannya,"jelasnya.
Namun demikian, Kemal mengingatkan pemerintah untuk tetap berupaya mencapai win-win agreement antara kedua belah pihak dalam renegosiasi nantinya.
“Yang penting renegosiasi harus benar-benar dilakukan, jangan hanya jadi angin lalu. Pemerintah harus serius mereview semua klausul perjanjian yang ada. Memperbaiki poin-poin yang merugikan kepentingan nasional, lalu mengajukan usulan-usulan yang konstruktif agar kedepannya negara dan rakyat diuntungkan. Tetapi kepentingan pelaku usaha juga tidak dirugikan,”jelasnya. (DPR/si)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar