Social Icons

Pages

Selasa, 26 April 2011

Rakyat Lebih Untung Jika Divestasi PTNNT Dibeli Pusat

Jakarta – TAMBANG. Pakar ekonomi Universitas Gadjah Mada, Anggito Abimanyu mengungkapkan, publik atau rakyat Indonesia akan lebih diuntungkan, jika 7% saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) dibeli Pemerintah Pusat. Karena dengan begitu, hingga akhir proses divestasi saham PTNNT yang dimiliki publik bisa mencapai 13%.

Sedangkan kalau 7% saham divestasi tahun 2010 itu dibeli pemerintah daerah (pemda) di Nusa Tenggara Barat (NTB) lewat PT Multi Daerah Bersaing (MDB), maka sampai akhir proses divestasi saham PTNNT yang dimiliki publik hanya 7,75%.

Hal ini diungkapkan Anggito dalam sebuah diskusi tentang Divestasi Saham PTNNT di Jakarta, Selasa, 26 April 2011. Menurutnya, jika pemerintah sendiri yang membeli saham divestasi PTNNT itu tanpa melibatkan swasta, maka seluruh keuntungan akan dinikmati rakyat Indonesia.

Anggito mengaku memahami keinginan pemda di NTB mendapatkan total 31% saham divestasi PTNNT, demi menunjang penerimaan daerah. Namun masalahnya, dalam proses pembelian saham itu, pemda bermitra dengan perusahaan swasta PT Muticapital, yang melebur menjadi PT MDB.

Seperti yang sudah diketahui, dalam komposisi kepemilikan PT MDB, tiga pemda di NTB hanya mendapatkan porsi kepemilikan 25%. Sedangkan PT Multicapital yang merupakan anak usaha Grup Bakrie, memegang porsi kepemilikan di PT MDB jauh lebih besar, hingga 75%.

Dengan begitu, jika pemda lewat MDB berhasil membeli total 31% saham PTNNT, maka sebenarnya saham milik rakyat hanya 7,75%. Untuk 24% saham divestasi yang sudah dibeli sebelumnya pun (tahun 2006-2009) kepemilikan pemda sebenarnya cuma 6%. “Yang untung swasta,” tandasnya.

Ditambah lagi, kata Anggito, dalam perjanjian kerjasama tiga pemda di NTB dengan Multicapital, disebutkan pemda mendapatkan dividen yang dibayar di muka. Menurutnya, ini justru sangat berbahaya, karena berpotensi menjadi utang bagi tiga pemda di NTB.

“Dividen dibayar di muka, artinya uang yang belum menjadi haknya (pemda), dibayarkan lebih dulu,” jelas Anggito. Kalau ternyata karena adanya rencana pengembangan PTNNT tidak membagikan dividen kepada pemegang sahamnya, maka apa yang sudah dibayarkan ke pemda itu menjadi utang.

Kalau utang itu menumpuk, maka 25% saham pemda di PT MDB akan terdilusi (habis untuk bayar utang, red). Ini akan mengulang kasus divestasi PT Kaltim Prima Coal. “Yang menderita bukan kepala daerah yang sekarang, tapi kepala daerah periode-periode berikutnya,” terang Anggito.

Ia pun menyarankan, jika pemda memang tetap ngotot ingin menguasai 7% saham PTNNT tahap akhir, maka jangan menggandeng swasta. “Lebih baik pemda berembuk dengan Pemerintah Pusat, bagaimana bisa menguasai saham itu bersama-sama,” tutur Anggito.

Kalau memang tidak bisa, tambahnya, lebih baik saham 7% itu dibeli Pemerintah Pusat melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP). Dasar hukum untuk melakukan itu jelas, yakni UU Nomor 1/2004, PP Nomor 1/2008, dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 181/2008 juncto PMK 44/2011.

Meski demikian, dalam diskusi itu Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Golkar, Harry Azhar Azis tetap menyatakan menolak penggunaan dana PIP untuk membeli saham divestasi PTNNT. Ia menekankan, dana PIP hanya boleh untuk investasi dibidang infrastruktur.

Harry juga mempersoalkan langkah Pemerintah Pusat ingin membeli 7% saham divestasi PTNNT tahun 2010. “Ini menunjukkan Pemerintah Pusat tidak percaya pada pemda. Padahal di era sekarang seharusnya yang dikedepankan desentralisasi,” tandasnya berapi-api.

Ia juga mengancam, akan memanggil Menteri Keuangan ke Senayan, jika nekat menggunakan PIP untuk membeli saham divestasi PTNNT. Saat ditanya dasar Komisi XI mempersoalkan penggunaan dana PIP? Ia menjawab, “dasarnya kesepakatan Komisi XI DPR dengan pemerintah tahun 2009”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar