Menyusul perspektif berbeda-beda yang muncul belakangan ini oleh sejumlah kalangan masyarakat terkait pemahaman dan mekanisme pemanfaatan dana CSR sehingga lahir pertanyaan, Apakah ada kemungkinan dana CSR dikumpulkan serta dikelola pemerintah daerah sebagai pendapatan asli daerah?
Sebagai upaya pencerdasan ketua lembaga “Pugar Sumbawa” MT Hidayat angkat bicara. Dijelaskan, Dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Bab IV tentang Sumber Penerimaan Daerah, Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan desentralisasi, penerimaan daerah terdiri atas Pendapatan Daerah dan Pembiayaan. Sedangkan dalam ayat (2) dinyatakan bahwa pendapatan daerah yang dimaksud ayat (1) bersumber dari pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan.
Lebih jauh disebutkan dalam Bab V Pendapatan Asli Daerah, Pasal 6 ayat (1) bahwa PAD bersumber dari pajak daerah; retribusi daerah; hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan lain-lain PAD yang sah.
Jika mengacu pada Bab VII tentang Lain-Lain Pendapatan, maka akan diketahui bahwa lain-lain pendapatan yang dimaksud terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat. Pasal 44 ayat (1) menyatakan bahwa pendapatan hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 merupakan bantuan yang tidak mengikat; ayat (2) menyatakan hibah kepada daerah yang bersumber dari luar negeri dilakukan melalui Pemerintah; ayat (3) menyatakan bahwa hibah dituangkan dalam suatu naskah perjanjian antara pemerintah daerah dan pemberi hibah; serta pada ayat (4) dikatakan bahwa hibah digunakan sesuai dengan naskah perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Menutup penjelasan mengenai lain-lain pendapatan, khususnya mengenai hibah, Pasal 45 mengatur tata cara hibah. Menurut Pasal 45, tata cara pemberian, penerimaan, dan penggunaan hibah, baik dari dalam negeri maupun luar negeri diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Menguatkan pengaturan dalam UU No. 33 Tahun 2004, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 21 menyatakan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, salah satu hak daerah adalah mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah.
Senada dengan pernyataan Pasal 21, Pasal 157 menyatakan bahwa sumber pendapatan daerah terdiri atas pendapatan asli daerah (PAD) dan lain-lain PAD yang sah. Lain-lain PAD yang sah antara lain terdiri dari lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Pasal 164 pun mengatur hal yang sama. Dalam ayat (1) dinyatakan lain-lain pendapatan daerah yang sah (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157) merupakan seluruh pendapatan daerah selain PAD dan dana perimbangan, yang meliputi hibah, dana darurat, dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan Pemerintah.
Sementara mengenai hibah, UU Pemerintahan Daerah mendefinisikan lebih jelas dengan menyebutkan bahwa hibah sebagaimana dimaksud di atas merupakan bantuan berupa uang, barang, dan/atau jasa yang berasal dari Pemerintah, masyarakat, dan badan usaha dalam negeri atau luar negeri.
Dari peraturan perundang-undangan di atas terlihat tidak adanya aturan spesifik mengenai dana CSR. Tetapi tidak adanya pengaturan tersebut justru membuka peluang bagi daerah untuk mengelola CSR (baik kegiatan maupun dana). Artinya, pemerintahan daerah boleh mengambil sumber pendapatn lain selama sumber pendapatan tersebut tidak didaku sebagai sumber pendapatan pemerintah pusat di dalam undang-undang.
Namun tidak boleh dinisbikan bahwa semua tindakan (di berbagai bidang), dalam kerangka negara hukum, haruslah didasarkan pada peraturan hukum. Positivisasi hukum dalam segala lini kehidupan masyarakat, membuat semua tindakan harus memiliki landasan hukum. Demikian pula ketika pemerintahan daerah bermaksud memasukkan (dana) CSR sebagai salah satu sumber pendapatan daerah. Salah satu alternatif landasan hukum bagi (dana) CSR adalah mengklasifikasikan dana tersebut sebagai hibah.
Hibah, menurut UU No. 32 Tahun 2004, adalah penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, pemerintah, badan/lembaga dalam negeri atau perseorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah maupun barang dan/atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali.
Dengan mengklasifikasikan (dana) CSR sebagai hibah, pemerintahan daerah memiliki kewenangan untuk mengumpulkan dan mengelola dana tersebut. Memang tetap harus dibuat peraturan untuk meneguhkan keberadaan (dana) CSR sebagai hibah. Peraturan tersebut dibuat oleh pemerintah dalam bentuk Peraturan Pemerintah.
Lalu apa alasan yang rasional untuk menyerahkan pengelolaan (dana) CSR kepada pemerintahan daerah, dan bukan diserahkan kepada pemerintah pusat? Alasan utamanya adalah perusahaan bersangkutan beroperasi di daerah, sehingga semua efek operasional perusahaan ditanggung daerah setempat.
Contoh kasus, PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) yang bergerak di bidang pertambangan di Kabupaten Sumbawa dan mengakibatkan terjadinya pencemaran diwilayah bersangkutan, maka pemerintah Kabupaten Sumbawa wajar dan berhak mengelola dana CSR PTNNT, sedangkan pemerintah pusat tidak berhak mengklaim dana CSR PTNNT atau dana CSR perusahaan lain yang akan beroperasi di Kabupaten Sumbawa. Alasannya, pemerintah pusat berikut daerah lain yang diwakilinya tidak ikut menanggung efek negatif operasionalisasi PTNNT.
Alasan dari perspektif berbeda menyebutkan bahwa pemilik sumber daya alam memiliki hak alamiah (kodrat,Red) untuk menerima pembagian keuntungan atas wilayah mereka. Padahal pemilik sumber daya alam adalah masyarakat setempat yang diwakili oleh pemerintahan daerah setempat, maka merekalah yang paling berhak menerima manfaat kegiatan CSR perusahaan pengelola sumbaer daya alam baik dalam bentuk dana CSR maupun dalam bentuk insentif pajak.
Dari perspektif pihak perusahaan, penyediaan dana CSR terkait erat dengan kondisi perpajakan. Karena CSR bagi perusahaan adalah pengeluaran, begitu pula dengan pajak yang harus mereka bayarkan. Sederhananya menurut Opieq, membayar pajak sekaligus mengeluarkan anggaran untuk kegiatan CSR berarti pengeluaran ganda bagi perusahaan. Kemudian melalui perhitungan ekonomis peruasahaan melihat pengeluaran ini sebagai kerugian perusahaan.
Oleh karena itu masih Opieq, salah satu cara pemerintah menghilangkan keraguan perusahaan melaksanakan CSR, maka pemerintah harus mengakomodir kekuatiran perusahaan akan potensi terjadinya pengeluaran ganda. Adapun tindakan yang bisa diambil pemerintah adalah mengkompensasikan pengeluaran CSR dengan pengurangan nilai pajak.
Pertanyaannya, apakah mengurangi besaran pajak perusahaan demi mendorong tumbuhnya CSR bukan merupakan tindakan sia-sia? Maka perlu kejelasan tentang pengeluaran dalam bentuk CSR juga pengeluaran dalam bentuk pembayaran pajak---bagi perusahaan bersangkutan akan sama saja nilai nominalnya.
Memang benar bahwa dari perspektif perusahaan, pengeluaran CSR tidak lebih menguntungkan daripada pengeluaran pajak. Namun terdapat perbedaan signifikan jika insentif CSR dalam bentuk pengurangan pajak ini dilihat dari kaca mata pemerintahan daerah dan masyarakat setempat.
Perbedaan ini berkenaan dengan perbedaan antara sifat pajak dengan sifat CSR. Mengutip pendapat Roy V. Salomo, tujuan pajak adalah mengalihkan kontrol atas sumber daya ekonomi dari pembayar pajak kepada negara untuk digunakan atau untuk ditransfer kepada pihak lain (meliputi realokasi sumber daya, pengakuan social cost, distribusi penghasilan dan kemakmuran).[7]
Poin penting yang harus digarisbawahi dari tujuan pajak (seperti tersebut di atas) adalah sifat pajak yang memungkinkan (bahkan senantiasa) ditransfer kepada pihak lain. Artinya pajak yang dipungut dari daerah tertentu, kecil sekali peluangnya untuk dibelanjakan/dimanfaatkan sepenuhnya untuk pengembangan daerah tempat pajak tersebut dipungut. Apalagi jika pajak yang dipungut (dalam hal ini adalah pajak perusahaan) adalah pajak yang menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Konsep pajak berbeda dengan konsep pendapatan daerah dari dana CSR. Dana CSR, karena dipungut dan dikelola oleh pemerintahan daerah, maka akan dipergunakan maksimal untuk kepentingan daerah setempat. Konsep yang diusulkan mengenai dana CSR, prioritas penggunaan dana ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas masyarakat sekitar lokasi perusahaan.
Dengan demikian, ketika diusulkan bahwa perusahaan yang memiliki aktivitas CSR akan diberi insentif pemotongan pajak, sebenarnya tidak benar-benar terjadi pengurangan pendapatan negara. Karena, meskipun pemasukan dari pajak berkurang, tetapi terjadi peningkatan belanja publik (public expenditure) dari sektor CSR.
Pengelolaan (dana) CSR
Bagi pemerintahan daerah, mengelola dana CSR pada dasarnya tidak berbeda dengan mengelola dana-dana APBD lainnya. Tetapi dengan melihat hakikat CSR sebagai bentuk keikutsertaan perusahaan komersial dalam meningkatkan kualitas masyarakat, maka sebenarnya terdapat dua bentuk CSR dalam public expenditure, yaitu:
a. Dana CSR dikelola oleh perusahaan bersangkutan, atau
b. Dana CSR diserahkan kepada dan dikelola oleh pemerintah setempat.
Dana CSR yang dikelola oleh perusahaan bersangkutan bisa diklasifikasikan sebagai hibah dalam bentuk barang/jasa. Nilai kegiatan ini dikonversikan ke dalam rupiah, untuk dicatat dalam APBD sebagai pendapatan asli daerah dari sektor CSR.
Jika dana CSR dikelola oleh perusahaan bersangkutan, maka tugas pemerintahan setempat adalah melakukan super visi atas perencanaan serta pelaksanaan program CSR. Pemerintah berhak melakukan kontrol (meliputi intervensi di dalamnya) terhadap pelaksanaan CSR, karena secara yuridis kegiatan CSR tersebut merupakan komponen resmi pendapatan asli daerah. Di sini, baik pemerintah maupun pihak perusahaan swasta memiliki tanggung jawab bersama terhadap terselenggaranya public expenditure.
Dalam hal dana CSR diserahkan serta dikelola oleh pemerintah setempat, pihak swasta tidak bisa ikut dimintai pertanggungjawaban. Perusahaan swasta semata bertindak sebagai penyandang dana, sementara public expenditure dilakukan sepenuhnya oleh pemerintahan setempat.
Berkaitan dengan pemerintahan daerah mana yang akan memeroleh manfaat CSR jika kebetulan wilayah kerja perusahaan swasta bersangkutan meliputi wilayah administratif dari beberapa pemerintahan daerah sekaligus? Misalnya wilayah kerja perusahaan A meliputi wilayah Kabupaten F, G, dan H, maka pemerintah kabupaten manakah yang berhak mengelola dana CSR?
Jika hal tersebut terjadi, maka nilai CSR akan dibagi secara proporsional di antara kabupaten-kabupaten bersangkutan. Dalam hal CSR dilakukan oleh perusahaan bersangkutan, maka nilai kegiatan itulah yang dibagi secara proporsional oleh Kabupaten F, G, dan H. Sedangkan jika CSR diserahkan oleh perusahaan dalam bentuk uang, maka Kabupaten F, G, dan H harus duduk bersama membahas proporsi yang akan diterima masing-masing kabupaten. Ukuran untuk menentukan proporsi pembagian adalah berdasar luas wilayah kabupaten yang menjadi wilayah kerja atau wilayah kegiatan operasional perusahaan bersangkutan.
Dalam konsep (pembagian kewenangan) pemerintahan daerah yang dianut Indonesia, terdapat asas umum yang menyatakan bahwa pengelolaan sumber daya alam akan dipegang oleh pemerintahan yang lebih tinggi dalam hal sumber daya alam tersebut terletak di dua (atau lebih) wilayah pemerintahan daerah. Misalnya sungai L mengalir melalui wilayah Kabupaten J, K, dan M. Koordinasi atas pengelolaan sungai L akan dipegang oleh pemerintah provinsi H sebagai pemerintah yang wilayah administratifnya meliputi Kabupaten J, K, dan M.
Berkait dengan asas di atas, muncul pertanyaan apakah asas tersebut bisa diterapkan dalam pegelolaan dana CSR. Tidak mungkinkan dana CSR dikelola oleh pemerintahan yang tingkatannya lebih tinggi apabila pengelolaan dana CSR melibatkan lebih dari dua pemerintahan daerah? Tidak, pemerintahan yang lebih tinggi tidak memiliki hak untuk turut campur dalam pengelolaan dana CSR tersebut. Karena, sekali lagi, efek kegiatan perusahaan secara riil terjadi di wilayah daerah bersangkutan.
Artinya menurut Opieq, kemungkinan penerapan (dana) CSR sebagai komponen pendapatan asli daerah, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1. (Dana atau nilai guna) corporate social responsibility bisa dialihkan dari perusahaan swasta menjadi salah satu komponen pendapatan asli daerah.
2. Pengalihan dana (atau nilai) ini harus diberi payung hukum berupa pengklasifikasian dana CSR ke dalam format hibah, seperti diatur dalam UU. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maupun dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah.
3. Nilai dari CSR adalah sepenuhnya menjadi hak masyarakat (dan lingkungan) dimana perusahaan beroperasi.
4. Pengelolaan dana CSR bisa dilakukan oleh pemerintah setempat maupun langsung oleh perusahaan yang bersangkutan.
Berkenaan dengan penjelasan tersebut, Denny Wardana inisiator Gerakan Percepatan Pembentukan Pemerintahan Kota Samawa Rea menilai, pengelolaan dana CSR oleh PTTNNT sekarang ini terkesan kurang transparan sehingga kedepan diharapkan kepada Pemerintah Daerah mampu berperan aktif memposisikan kebijakan dalam hal pengelolaan dana CSR, tidak hanya yang sumbernya dari PTNNT, tetapi secara luas mencakup CSR perusahaan lain yang nantinya akan beroperasi di Bumi Tana Bulaeng. ”yang paling penting dan perlu digaris bawahi bahwa dana CSR berpeluang besar menjadi bagian PAD,” kata Denny.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar