Presiden Indonesian Petroleum Association (IPA) Ron Aston, mendesak pemerintah transparan dalam penanganan Blok West Madura Offshore, yang akan habis kontraknya pada 7 Mei 2011. Menurutnya, transparansi itu penting, guna melindungi hak-hak investor di ladang minyak lepas pantai itu.
IPA juga menyesalkan berlarutnya persoalan tersebut, padahal sesuai Undang-Undang (UU) Minyak dan Gas (Migas), perpanjangan atau penghentian kontrak bisa diputuskan sejak sepuluh tahun lalu.
Dalam pertemuan dengan wartawan di Jakarta, Rabu, 27 April 2011, Ron Aston menegaskan, penghentian kontrak atas suatu blok migas adalah hal yang biasa. “Yang penting transparan dan benar prosesnya”.
Penghentian kontrak atas investor migas asing juga hal yang lumrah, dan menurutnya tidak menjadi masalah bagi IPA. “Akan tetapi yang kita inginkan adalah kepastian, agar jelas bagi investor akan biaya serta benefit yang diperhitungkannya,” tambah Ron Aston.
Usai pertemuan, Wakil Presiden IPA, Sammy Hamzah menjelaskan, masalah perpanjangan kontrak migas adalah sesuatu yang sangat pelik dan sensitif. Maka dari itu, harus dianalisa dengan cermat dampaknya bagi pemerintah, dan penerimaan negara.
Perlu dicatat, kata Sammy, semua investasi migas pasti dalam jangka panjang. Maka dari itu, jika tidak ada kejelasan sampai menjelang akhir masa kontrak, tentu akan sangat menyulitkan bagi investor. “Investasi di migas return-nya baru 10 tahun, bagaimana kalau tidak segera diputuskan?”.
Menurutnya, UU Migas sendiri sudah mengatur, suatu kontrak migas akan diperpanjang atau dihentikan, bisa diputuskan 10 tahun sebelum jatuh tempo habisnya kontrak. Namun kenyataannya, saat ini ada yang sudah tinggal hitungan bulan, belum juga diputuskan. “Kalau jelas dari awal, mungkin (persoalan di West Madura, red) tidak jadi seperti ini,” tandasnya.
“UU Migas sebenarnya ingin melindungi pemerintah dan investor,” ujarnya. Jangan sampai investor sudah mengeluarkan biaya banyak, lantas kontraknya tidak diperpanjang. Atau sebaliknya, investor tidak memacu produksinya sehingga merugikan negara, kontraknya justru diperpanjang.
Terkait pengalihan saham pengelola West Madura, yakni dari Kodeco dan CNOOC ke PT Sinergindo Citra Harapan dan Pure Link Investment Ltd, menurut Sammy sifatnya business to business (B to B). “Selama kontrak belum habis, hubungan B to B bisa dilakukan, dengan persetujuan BP Migas,” jawabnya.
Terkait ricuh di west Madura, pada Senin, 25 April 2011, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) telah menyebarkan pernyataan pers. Isinya pertama, proses perpanjangan Kontrak Kerja Sama atau KontrakProduction Sharing maupun pengalihan Participating Interest (PI) atau saham, telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2004.
Untuk perpanjangan kontrak, sebut pernyataan pers KESDM, sesuai Pasal 28, Kontraktor dapat mengajukan permohonan perpanjangan ke Menteri ESDM melalui BPMIGAS. Dalam kaitan dengan ini BPMIGAS harus melakukan evaluasi dan rekomendasi.
Untuk pengalihan PI, sesuai Pasal 33, Kontraktor dapat mengalihkan PI setelah mendapat persetujuan Menteri ESDM berdasarkan pertimbangan BPMIGAS. Sehingga dalam masalah ini, BPMIGAS memegang peranan penting untuk melakukan evaluasi dan memberikanpertimbangan atau rekomendasi.
Kedua, disebutkan bahwa KESDM selalu berpegang pada ketentuan yang ada dalam menangani masalah tersebut diatas. Yaitu selalu merujuk kepada hasil evaluasi dan rekomendasi BPMIGAS, bukan kepada masing-masing Badan Usaha.
Terkait dengan masalah ini, lanjut pernyataan pers itu, pada 29 Desember 2009 BPMIGAS menyampaikan laporan kepada Menteri ESDM bahwa Pertamina sedang berunding dengan Kodeco, dimana Pertamina menginginkan PI sebesar 60% sementara Kodeco menginginkan PI Pertamina 50%. Inilah yang menjadi dasar utama dalam proses PI Blok West Madura.
Ketiga, disebutkan bahwa saat pernyataan pers KESDM itu diterbitkan, Pertamina akan menyampaikan kembali usulannya melalui BPMIGAS. Keempat, setelah mengevaluasi dan memberikanpertimbangannya, BPMIGAS tentunya akan menyampaikan masukan/pertimbangan kepada Menteri ESDM untuk meminta persetujuan.
Terkait hal ini, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mendesak, agar pengelolaan West Madura diserahkan 100% kepada Pertamina. Dengan begitu kontrak Kodeco dan CNOOC tidak diperpanjang.
Terlebih, ujarnya, Pertamina telah mengajukan keinginannya mengelola blok itu 100% sejak dua tahun lalu. “Pemerintah harus memihak Pertamina jika tidak ingin dicap antek asing,” ujar Marwan di Jakarta, Rabu, 27 April 2011.
Ia juga menyebutkan, peralihan PI dari Kodeco dan CNOOC ke Sinergindo dan Pure Link Investment tidak layak, karena dilakuka hanya dua bulan sebelum kontrak habis. Marwan tidak yakin persetujuan yang diberikan BP Migas dan Menteri ESDM atas pengalihan PI itu, didasarkan pada pertimbangan yang matang. “Sebaliknya sarat pelanggaran hukum dan merugikan negara,” tukasnya.
Marwan juga mengungkapkan, secara resmi Pertamina tidak pernah berunding dengan Kodeco, seperti dituturkan dalam pernyataan pers KESDM tersebut. Ia telah mengkonfirmasi kepada Pertamina, yang mengaku tidak pernah menerima undangan tertulis dari BP Migas.
Marwan menduga, dengan wewenang yang dimiliki, BP Migas telah memaksa Pertamina untuk rapat bersama dengan Kodeco dan BP MIGAS, membahas perpanjangan kontrak West Madura. “Namun rapat-rapat tersebut adalah liar, sebagaimana juga dinyatakan oleh Pertamina,” tandasnya lagi.
Dia menambahkan, pernyataan KESDM bahwa Pertamina meminta IP 60% adalah kebohongan publik sekaligus pemaksaan. Karena secara resmi melalui surat No.475/C00000/2010/S0 tanggal 4 Mei 2010, Pertamina mengajukan permintaan untuk memiliki 100% saham, dan menjadi operator di Blok West Madura Offshore.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar