Social Icons

Pages

Jumat, 13 Mei 2011

Harga Gas Domestik Masih Menjadi Polemik

Jakarta – TAMBANG. Kepala Divisi Humas, Sekuriti, dan Formalitas BP Migas Gde Pradnyana mengatakan, pihaknya telah membuat keputusan untuk membentuk forum pertemuan antara produsen dan konsumen gas. Hal itu dimaksudkan agar terjadi kecocokan harga jual gas guna memenuhi pasokan gas dalam negeri. Demikian disampaikannya di sela acara “Program Edukasi Wartawan BP Migas” pada Jumat, 13 Mei 2011, di Gedung Wisma Mulia, Jakarta.

Menurut Pradnyana, kecocokan tersebut sangat diperlukan agar proyek-proyek lapangan migas dapat dikembangkan. “Selama ini yang membuat banyak lapangan (gas) tidak dikembangkan adalah karena harganya yang tidak cocok,” ucapnya.

Sementara itu, di kesempatan yang sama, Iwan Ratman, Kadiv Manajemen Proyek BP Migas mengatakan bahwa proyek pengembangan gas berbeda dengan minyak, di mana kesepakatan harga menjadi penentu sebelum proyek dijalankan.

“Karena gas itu beda, pembelinya harus ada dulu, kalo pembelinya ada maka skenarionya ada, proyeknya juga ada, dan otomatis duitnya juga ada, tapi kalau minyak lain, meski pembelinya belum ada, alokasinya belum ada, kalau mau bangun ya bangun saja,” jelasnya.

Gde Pradnyana menambahkan bahwa pemenuhan gas diutamakan untuk kebutuhan domestik, setelah itu baru diekspor. Namun kenyataannya, lebih banyak gas yang diekspor dengan alasan harga jual dalam negeri cenderung lebih murah.

Terkait hal ini, Gde Pradnyana mengatakan bahwa banyak faktor yang menentukan harga gas ekspor lebih tinggi dibanding domestik. “Untuk keperluan ekspor, gas harus diubah dalam bentuk LNG, proses gasifikasi, dan pengangkutan melalui kapal, yang tentunya berpengaruh pada biaya,” ucapnya.

“Tidak hanya itu, untuk pembeli luar negeri biasanya ada klausul tertentu di dalam kontraknya, seperti pergantian sumber energi lain jika ada masalah suplai gas, yang akhirnya dikompensasikan ke pembeli melalui harga yang lebih mahal,” tambahnya.

Terkait hal itu, Anggota Komisi VII DPR RI, Satya W. Yudha menyampaikan bahwa meski terdapat faktor-faktor penambah harga jual gas ekspor, tetap saja harga jual gas domestik lebih murah dibandingkan harga dasar gas untuk ekspor (sebelum ditambahkan faktor penambah).

“Jika dihitung-hitung, dari harga jual ekspor yang mencapai kisaran USD 12-13 per mmbtu, setelah dikurangi biaya kapal, transportasi, gasifikasi, dan lain-lain, harga gas itu sendiri tetap berada di kisaran USD 9-10 per mmbtu. Masih lebih mahal dari harga domestik yang maksimal mencapai USD 5,6 per mmbtu,” jelasnya melalui telepon hari ini.

Untuk itu, Satya pun mengatakan bahwa harga jual gas dalam negeri perlu dinaikkan agar tetap menarik bagi investor. “Kita perlu meningkatkan harga gas dalam negeri menjadi sekitar USD 9-10 per mmbtu,” ujarnya.

Harga domestik harus dibuat menjadi ekonomis, agar tetap atraktif bagi investor. Lagi pula, Satya mengaku yakin, industri masih mampu dengan harga USD 9-10 per mmbtu itu. Dibanding harus menggunakan diesel yang mencapai kisaran USD 22 per mmbtu.

“Harga diesel USD 22 per mmbtu itu pun saat harga Japanese Crude Cocktail (JCC) sebesar USD 80 per barel. Sedangkan sekarang harga JCC mungkin sudah USD 100-an per barel,” ucapnya.

Terkait hal itu, Satya menambahkan bahwa saat ini pihaknya sudah meminta BP Migas dan Kementerian ESDM melakukan peningkatan terhadap harga gas domestik. Pada dasarnya, kata Satya, BP Migas dan Kementerian ESDM setuju menaikkan harga gas domestik.

“Tapi saat ini mereka bilang sedang menyusun formulanya. Kapan mereka siap menyampaikan keputusannya kepada kami (DPR), saya belum tahu,” pungkas Satya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar